Kaidah Ke-57 : Segala Sesuatu Yang Tidak Mungkin Terhindar Darinya Maka Dimaafkan
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kelima Puluh Tujuh
كُلُّ مَا لاَ يُمْكِنُ اْلاِحْتِرَازُ عَنْ مُلاَبَسَتِهِ مَعْفُوٌّ عَنْهُ
Segala sesuatu yang tidak mungkin terhindar darinya maka dimaafkan
MAKNA KAIDAH
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan kebersihan dan kesucian. Islam datang dalam keadaan selaras dengan fitrah dan jiwa yang lurus yang tidak menyukai percampuran dengan hal-hal kotor dan najis. Islam juga sangat menganjurkan sisi kesucian dan senantiasa menjaganya. Dalam memerintahkan kepada aspek kesucian dan kebersihan, Islam menempuh jalan pertengahan, tidak berlebih-lebihan dan tidak pula meremehkan. Dalam permasalahan ini, syariat tidak memberikan beban yang berat yang berimplikasi kepada kesulitan dan kesempitan. Demikian pula, syari’at tidak bermudah-mudah dalam permasalahan ini, yang mengakibatkan hilangnya tujuan dan maksud dari pensyariatan thaharah (bersuci) dan membersihkan najis.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Dalam permasalahan penghalalan dan pengharaman, termasuk menentukan suatu perkara suci atau najis, agama Islam bersikap pertengahan di antara kaum Yahudi dan Nasrani. Sebagaimana bersikap pertengahan dalam seluruh aspek syari’at. Syariat tidak memberikan beban yang berat kepada kita dalam masalah pengharaman dan tentang hal-hal yang najis, seperti beban berat yang telah dipikul oleh kaum Yahudi. Di mana telah diharamkan atas mereka hal-hal yang baik yang sebelumnya dihalalkan bagi mereka, disebabkan kezaliman dan maksiat yang mereka lakukan. Bahkan Allâh Azza wa Jalla menghilangkan kesempitan dan beban berat yang mereka pikul dari diri kita. Seperti permasalahan meminjam pakaian, menjauhi wanita yang sedang haidh dari tempat makan dan tempat tidurnya, dan semisalnya. Dan tidak pula halal bagi kita perkara-perkara keji, sebagaimana hal itu terjadi di kalangan orang-orang nashara yang mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla dan rasul-Nya. Dan mereka tidak mau menempuh jalan agama yang haq. Sehingga mereka tidak menjauhi benda-benda najis, dan tidak pula mengharamkan perkara-perkara jelek. Bahkan puncak ucapan mereka hanyalah mengatakan, “Besihkanlah hatimu, lalu laksanakan sholat.” Adapun kaum Yahudi mereka memberikan perhatian kepada kebersihan lahiriah namun mengabaikan kesucian hati. Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ
Mereka itu adalah orang-orang yang Allâh tidak hendak mensucikan hati mereka. [al Mâidah/5:41]
Adapun orang-orang beriman, maka Allâh Azza wa Jalla mensucikan hati dan badan mereka dari perkara-perkara najis.[1]
Di antara bentuk wasathiyyah (sikap pertengahan) tersebut, syari’at datang dengan memberikan keringanan terhadap sebagian najis, dan dalam beberapa situasi serta kondisi tertentu. Seperti yang disebutkan dalam substansi kaidah ini, yaitu di suatu kondisi ketika menghindari suatu benda najis merupakan perkara yang sulit. Dikarenakan benda tersebut merupakan sesuatu yang sering kali bersinggungan dengan manusia. Sehingga merupakan hal yang berat apabila seorang Muslim diberikan beban (taklîf) untuk menjauhi benda tersebut. Maka dalam kondisi seperti ini, najis itu dimaafkan dan dihukumi sebagai sesuatu yang suci karena sulitnya terhindar darinya.
Perlu kita fahami juga bahwa ada beberapa keadaan atau kondisi yang ditentukan syariat sebagai sebab dimaafkannya najis selain yang telah disebutkan di atas, di antaranya adalah[2]:
- Masyaqqah (kesulitan). Misalnya kasus orang yang selalu keluar najis darinya, seperti orang yang terkena salasul baul (senantiasa keluar air kencing darinya), dan wanita yang terkena istihâdhah (selalu keluar darah dari farjinya), dan semisalnya. Sesungguhnya syariat telah memberikan keringanan kepada orang-orang tersebut, dan memberikan kelonggaran atas najis yang menimpa mereka.
- ‘Umumul balwa, maksudnya adalah banyaknya orang yang tertimpa hal tersebut di kalangan manusia secara umum. Misalnya keberadaan darah ataupun nanah yang keluar dari jerawat atau pun bisul, maka hal itu pun dimaafkan. Dikarenakan banyaknya manusia yang tertimpa hal itu.
Secara umum kaidah ini merupakan bagian dan cabang dari kaidah yang telah ma’ruf di kalangan para ulama’ yaitu kaidah al-masyaqqah tajlibut taisir (kesulitan mendatangkan kemudahan), yang termasuk salah satu dari al Qawâ’id al-Khams al-Kubra (lima kaidah besar) dalam pembahasan fiqih.
DALIL YANG MENDASARINYA
Di antara dalil yang menunjukkan bahwa sulitnya terhindar dari sesuatu menjadi sebab akan adanya keringanan adalah sebagai berikut :
- Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan bahwa kucing bukanlah hewan yang najis. Hal itu karena manusia sulit terhindar dari hewan ini. Seandainya kucing dihukumi hewan najis tentu hal itu merupakan kesulitan, karena hewan tersebut sering kali berada di sekitar manusia dan sering bersama manusia.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِيْنَ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ
Kucing itu tidak najis. Kucing adalah binatang yang sering berkeliaran di tengah-tengah kalian[3]
Setelah menyebutkan hadits ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Kami berpendapat bahwa jenis kesulitan untuk terhindar dari suatu hal memberikan pengaruh terhadap jenis keringanan. Apabila kesulitan tersebut berkaitan dengan seluruh jenisnya, maka dimaafkan keseluruhannya, sehingga dihukumi akan sucinya hal tersebut. Adapun jika kesulitan itu berkaitan dengan sebagiannya, maka dimaafkan sesuai kadar kesulitannya.”[4]
- Keumuman dalil yang menunjukkan diangkatnya kesempitan dari umat ini. Di antaranya adalah firman Allâh Azza wa Jalla :
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni’mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. [al Mâidah/5:6]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan ayat ini, “Maksudnya adalah bahwa Allâh Azza wa Jalla tidaklah memberikan beban kepada kalian dengan sesuatu yang tidak kalian mampui, dan tidak memberikan kewajiban yang menyulitkan kalian, kecuali Allâh Azza wa Jalla akan memberikan kelapangan dan jalan keluar. Oleh karena itu, shalat yang merupakan rukun Islam terbesar setelah dua kalimat syahadat wajib dilaksanakan empat rakaat ketika berada di tempat asal, adapun ketika safar maka diqashar menjadi dua rakaat. Dan ketika keadaan takut sebagian imam melaksanakannya satu rakaat, dan dikerjakan dengan berjalan ataupun berkendaraan, dengan menghadap kiblat atau tidak. Demikian pula pelaksanaan shalat sunnah ketika safar boleh menghadap kiblat ataupun tidak. Dan kewajiban berdiri digugurkan ketika seseorang mempunyai udzur sakit, sehingga diperbolehkan baginya untuk shalat dengan duduk, jika tidak mampu maka diperbolehkan dengan berbaring. Dan selainnya dari rukhshah dan keringanan dalam seluruh kewajiban.[5]
Oleh karena itu, kesempitan dan kesulitan telah diangkat dari syari’at ini termasuk dalam permasalahan thaharah (bersuci).
CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Di antara contoh implementasi kaidah ini adalah sebagai berikut :
- Tanah yang tercampur najis di jalanan, apabila tertempel sedikit pada kaki atau pakaian maka dimaafkan karena sulitnya terhindar darinya.
- Air mani dihukumi sebagai sesuatu yang suci, meskipun hal yang mengonsekuensikan kenajisannya ada. Hal ini dikarenakan seringnya mani tersebut mengenai badan, pakaian, atau kasur tanpa kesengajaan manusia, dan sulitnya terhindar darinya.[6]
- Dimaafkannya bekas najis yang tersisa setelah istijmar, dengan syarat telah dilaksanakan istijmar tersebut sesuai tuntunan syar’i.[7]
Wallahu a’lam.[8]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XVII/1435H/2014. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Majmû’ al-Fatâwâ, 21/332-333.
[2] Lihat Ahkâmun Najâsât fil Fiqhil Islami, karya ‘Abdul Majid Shalahin, hlm. 2/548-550.
[3] HR. Abu Dawud, no. 75; at-Tirmidzi, no. 92; an-Nasâ’i, no. 68. Ibnu Mâjah, no. 367. Semuanya dari riwayat Abu Qatâdah Radhiyallahu anhu
[4] Majmû’al-Fatâwâ, 21/599.
[5] Tafsir al-Qur’ânil ‘Azhîm, karya Ibnu Katsir 1/342.
[6] Lihat Majmû’ al-Fatâwâ, 21/592.
[7] Lihat al Inshâf karya Al Mardawi 1/329 dan Syarh Muntahal Irâdah karya al-Buhuti 1/103. Lihat pula contoh-contoh lain dari najis yang dimaafkan pada empat madzhab dalam kitab-kitab berikut: al Binâyah ‘alal Hidâyah, karya al ‘Aini, 1/735. al Mabshûth, karya as-Sarkhasi, 1/60-61. Syarh Fathil Qadîr, karya Ibnul Hammam, 1/177-179. Badâ-i’us Shanâ-i’, karya al-Kasani, 1/79. Mawâhibul Jalîl Syarh Mukhtashar Khalîl, karya al Hatthab, 1/154. Hasyiyah al Baijuri ‘ala Ibni Qâsim, 1/35. Mughnil Muhtâj, karya as-Syarbini al-Khathib, 1/81. Nihâyatul Muhtâj, karya ar-Ramli, 1/71. Raudhatut Thâlibin, karya an-Nawawi, 1/279-280. Syarh Muntahal Iradat, karya Al Buhuti, 1/103. Kassyaful Qina’, karya Al Buhuti, 1/218.
[8] Diangkat dari kitab al-Qawâ’id wa adh-Dhawâbith al-Fiqhiyyah ‘inda Ibni Taimiyyah fi Kitâbai at-Thahârah wa as-Shalâh, Nashir bin ‘Abdillah al-Maiman, Cet. II, Tahun 1426 H/2005 M, Jami’ah Ummul Qura, Makkah al-Mukarramah, Hlm. 335-338.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4402-kaidah-ke-57-segala-sesuatu-yang-tidak-mungkin-terhindar-darinya-maka-dimaafkan.html